Mie Instan Panchongdong
by : Jonathan

Jika kau melihat mie instan Panchongdong, buang jauh-jauh dan segera pergi dari tempatmu.

Mungkin kamu pernah melihat beritanya di televisi: semua mie instan Panchondong ditarik dari pasaran karena alasan kesehatan. Mungkin hanya terlihat seperti kesalahan produksi biasa—tak berbeda dengan berita penarikan Indomie dari pasar Taiwan yang kudengar saat aku masih anak-anak. Tapi bukan, bukan itu. Ini jauh berbeda. Kalau kamu melaporkan ada toko yang menjual mie instan itu, yang datang bukan petugas dinas kesehatan. Pertama yang datang polisi. Lalu tentara. Aku tahu karena aku di sana saat kejadian itu terjadi. Mereka datang memakai seragam pelindung diri. Pertama mereka membawa pergi semua mahasiswa. Lalu mereka membawa pergi Natalie dan kardus mie-nya. Atau terbalik ya? Entahlah. Ingatanku kabur beberapa hari belakangan ini. Aku harus menuliskan ini sebelum aku dibawa per—sebelum aku lupa.

Jangan berpikir terlalu jauh, Mark. Jangan!

Aku mahasiswa tingkat sarjana di Jawa Barat. Aku tinggal, maksudku, tadinya aku tinggal, di rumah kost yang masih di dalam area kampus yang sangat luas dengan teman sekamarku, Natalie. Dia mahasiswa arsitektur yang sangat suka dengan mie instan. Dan aku serius. Dia sangat suka mie instan.

Makanannya hanya mie instan. Ia makan mie instan untuk makan pagi, makan siang, dan makan malam. Terkadang juga ia bangun tengah malam hanya untuk makan mie instan. Jujur, aku tidak pernah melihat Natalie makan apapun selain mie instan. Ya, mungkin ia akan menambah kornet atau sayur ke dalam mie-nya, namun ia tidak pernah makan kalau tidak ada mie instan. Namun bukan berarti dia tidak pernah bereksperimen dengan makanannya. Aku pernah melihatnya makan mie dengan kuah kopi (!). Atau satu kejadian saat ia sedang memasak ramen goreng dan kompor gas kami meletup. Aku harus membantunya memadamkan api saat dapur rumah kost kami (nyaris) ludes terbakar.

Namun di luar itu Natalie adalah seorang wanita normal yang suka menonton anime, musik hip-hop dan pesta malam di kota.

Natalie punya channel YouTube khusus untuk me-review mie instan. Nyaris tiap hari ia live streaming pengalamannya unboxing, menikmati, dan mengkritik rasa dari berbagai mie instan yang ia makan.

Channel YouTubenya sangat populer. Penggemar dari seluruh dunia sering mengiriminya mie instan khas dari negara mereka. Kuingat Natalie pernah me-review mie bacon dari Inggris, mie kari keju dari Jepang, mie borscht dari seorang penggemar Ukraina, dan mie berwarna ungu dari Thailand. Beritahu nama mie apapun, dan kujamin Natalie pernah mencobanya setidaknya sekali.

Kadang, perusahaan mie yang ingin beriklan mengirim berkardus-kardus mie produksi mereka kepada Natalie. Kamar kami penuh dengan kardus mie kiriman berbagai perusahaan. Kadang ia melakukan giveaway untuk para penggemarnya, kadang ia membagi-bagikan mie yang tidak ia makan kepada teman-temannya. Semua teman di kampus menyukainya karena itu.

Natalie-lah korban pertamanya.

Aku ingat betul bagaimana itu semua bermula. Siang itu hari Kamis awal semester. Aku baru kembali dari ekspedisi lapangan di Papua Nugini. Aku sangat ingat karena paginya aku kebingungan mencari catatan entomologiku yang harus kukumpulkan ke dosen.

Saat aku berkaca di depan cermin, kulihat dari pantulan cermin ada sekardus besar mie. Di kardus itu tertera tulisan bahasa Korea. Kardus itu sudah terbuka, menampakkan plastik kemasan mie instan di dalamnya. Biasanya aku tidak memperdulikan mie, namun kemasan itu berbeda. Kalau biasanya kemasan mie berwarna cerah dengan tulisan yang menarik, namun kemasan ini berbeda.

Kuambil satu kemasan. Hanya ada kemasan plastik putih yang berkilau dengan tulisan Korea besar tertera di atasnya. Di bawah tulisan itu ada tulisan yang lebih kecil: "Panchondong". Kulihat Natalie sedang makan mie itu di depan laptopnya, sambil memutar musik hip-hop keras-keras.

"Pelanin," kataku. "Nanti Windy kesel terus laporin lo ke ibu kost"

Windy adalah mahasiswi jurusan ekonomi yang tinggal di kamar sebelah.

Natalie memandangku sedikit kesal, lalu menurunkan volume musiknya.

"Enak banget tuh kayaknya," ujarku sambil menunjuk ke mie yang sedang Natalie makan. Mie itu berbau pedas seperti kimchi.

"Baru dateng tadi pagi," jawabnya singkat sambil mengayun-ayunkan sumpit ke arahku. "Kayaknya perusahaan baru deh. Jujur gapernah denger namanya.""

"Aneh banget bungkusnya," kataku sambil membolak-balik kemasan plastik mie itu. "Gaada keterangan bahannya"

"Hmmhmm. Konsep minimalis itu, mirip sama ramen Gongchandang yang waktu itu". Ia berbalik menghadapku. "Mau coba, gak? Enak loh"

Sebetulnya aku suka makanan pedas. Dan aku cinta pada mie yang ada pedas-pedasnya, terutama yang ada sambal atau wasabinya. Namun aku agak curiga dengan mie yang satu ini. Ada bau yang aneh. Iya aku tahu, baunya enak. Namun di balik bau itu, ada aroma yang berbeda. Aroma yang dingin dan kering, tidak berbeda jauh dengan aroma lantai rumah sakit.

"Emmm, nah", ujarku sambil memamerkan catatan entomologiku. "Siang ini gue makan di luar"

Aku tidak berpikir banyak tentang ramen aneh itu. Atau lebih tepatnya, awalnya aku tidak berpikir banyak tentang ramen aneh itu. Namun Natalie makin sering makan mie Panchongdong dibanding mie yang lain. Aroma pedas namun sedikit…aneh dan tak bisa kujelaskan itu menjadi ciri khas kamar kami.

Beberapa minggu kemudian saat aku mampir di asrama mahasiswa kedokteran, aku tiba-tiba mencium bau itu. Saat aku menengok, Arif sedang mengeluarkan semangkuk mie dari microwave.

"Lah lo makan ini juga?", tanyaku penasaran. "Dapet dari Natalie ya?"

"Kaga, gue dapet dari Indomaret sebelah", jawab Arif sambil menaruh mangkuk panas itu ke atas meja. "Minggu lalu Natalie kasih gue sebungkus. Enak banget gila, sampe nagih gue"

Dan Arif benar. Mie itu laku keras di Indomaret kampus. Aku melihat petugas Indomaret menurunkan berkardus-kardus mie itu dari truk langsung ke tangan para mahasiswa yang ketagihan.

"Emang seenak itu, apa?" tanyaku ke kasir Indomaret sambil melihat seorang mahasiswa memborong dua kardus mie.

Ia tertawa ringan. "Gila emang. Pagi dateng, sore udah abis stok. Truk itu dateng ke sini dua kali sehari khusus bawa mie"

Ia mengambil korek yang kuminta dari belakang kasir. "Saya sendiri udah coba Mas, jujur memang enak"

Semester itu berjalan biasa-biasa saja. Satu hal yang sedikit menarik adalah serangan flu yang melanda kampus. Aku tidak bisa bilang ini wabah (ya, ini tidak ada apa-apanya dengan wabah yang melanda negara ini saat aku masih SMA), namun serangan flu ini makin lama makin terasa. Awalnya hanya satu-dua orang yang absen, namun lama-kelamaan makin banyak mahasiswa yang tidak hadir.

Natalie juga sakit. Sudah dua minggu ia tidak enak badan. Aku memeriksanya sebelum aku pergi meninggalkan rumah kost. Wajahnya bengkak. Tirai kamar kami ditutup. Sinar matahari membuat matanya sakit, katanya. Dia menggumam tak jelas soal livestream YouTube-nya. Kubilang sebaiknya ia istirahat. Penggemarnya akan paham, kok. Saat kututup pintu kamar, Natalie sedang tertidur pulas.

Kupikir itu kali terakhir kulihat Natalie yang sebenarnya.

Windy sedang bersiap pergi ke kelas saat aku melewati kamarnya. Biasanya ia mengeluh tentang musik yang terlalu keras dari kamar kami. Namun hari ini ia bisa tenang karena Natalie sedang terlelap.

Kelas kami tak sampai setengah terisi. Sebagian besar murid izin sakit. Kulihat kekesalan yang tergambar di wajah Profesor Andi saat ia menghadapi kelasnya yang setengah kosong. Kasihan murid yang tak hadir, pikirku. Ceramah hari ini sangat seru, melanjutkan ceramah minggu lalu soal infeksi jamur pada semut. Atau bahasa kerennya, semut zombie.

Di jalan kembali ke rumah kost, aku melihat-lihat YouTube di HP-ku. Kulihat notifikasi bahwa Natalie sedang live streaming.

"Sialan," batinku. "Bukannya sudah kusuruh dia untuk istirahat ya?"

Aku mengetuk layar untuk melihat kira-kira apa yang sedang ia live streaming-kan.

Lingkaran loading menari-nari sejenak di layarku. Tak lama kemudian wajah Natalie nampak. Wajahnya seperti ia baru bangun barusan. Rambutnya berantakan. Namun ia tidak bicara. Ia bahkan tidak bergerak. Ia menatap lurus ke kamera, matanya tak berkedip, mulutnya terbuka sedikit.

Kolom komentar sudah ramai.

"Lah kok diem?"

"OMG, ngiler. Jijik!"

"Ayo dong, udah 20 menitan nih!"

Aku menelepon Natalie. Ia tak menjawab. Lalu aku berlari ke arah rumah kost secepat mungkin. Ada yang tak beres dengan Natalie. Aku naik tangga dengan sangat cepat sampai kakiku nyeri.

Saat aku sampai di lantai tiga, kudorong pintu kamarku.

Natalie sedang duduk dalam kegelapan kamar, membungkuk menghadap laptop. Ia tidak merespon kedatanganku yang tiba-tiba. Ia hanya duduk, terdiam, membeku.

"Natalie??", ujarku mendekatinya.

Aku berjalan masuk tanpa menutup pintu di belakangku.

Mengilas balik, kurasa keputusan itu menyelamatkan hidupku.

Aku mengulurkan tangan padanya. Namun satu hal menahanku dari menyentuhnya.

"Lo ngapain?", tanyaku.

Ia terdiam.

"Nat?"

Pada titik ini secara praktis aku membentaknya.

Ia bergerak. Cahaya dari pintu jatuh menyinari rambutnya. Lalu kulihat. Rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya. Namun ada sesuatu di atas kepalanya. Sebuah batang menyembul dari rambutnya. Nampaknya seperti sebuah tunas.

Natalie berputar pelan.

Wajahnya pucat, dan ludahnya menetes turun dari mulutnya yang terbuka. Namun matanya—aku tak akan pernah bisa melupakan tatapan matanya. Namun pikiranku buyar karena Natalie tiba-tiba meloncat dari kursi itu ke arahku, mulutnya terbuka lebar seperti anjing yang ingin menggigit. Tangannya mengayun seperti ingin mencakarku.

Aku menjerit dan melempar ranselku ke arahnya. Ia mendorongku ke arah tembok. Aku terjepit—di belakangku ada tembok, dan di depanku, hanya ranselku yang menghalangiku dari amukan Natalie.

Aku seorang laki-laki dewasa. Bagaimana cara seorang wanita yang lebih pendek dan jauh lebih ringan daripadaku bisa melakukan itu, jujur aku masih tidak mengerti.

Aku menjerit.

"Nat! Nat!! Lo kenapa sih?! Nat!!"

Aku mendengar suara Windy yang sedang marah di pintu kamar kami.

"Gue kan udah bilang, jangan keras-ke—"

Windy tidak punya kesempatan. Natalie beralih menyerangnya. Windy terpaku di pintu, tak sempat menghindar saat Natalie membenamkan giginya ke bahu Windy. Windy terjatuh ke lorong rumah kost, sementara Natalie menimpanya.

Aku tak banyak mengingat apa yang terjadi di saat-saat sesudah itu. Baju Windy dipenuhi darah. Ia menjerit ketakutan, memukul Natalie dengan tinjunya. Dan aku, aku berteriak-teriak mencoba menarik Natalie dari tubuh Windy. Namun gigitannya terlalu kuat. Dan aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari tunas yang merekah di atas kepala Natalie. Bentuknya seperti jamur yang kulihat di kelas biologi-ku.

Satpam datang dalam hitungan menit, namun hitungan menit itu terasa lama sekali. Satpam berhasil memisahkan Natalie dari Windy, namun sebagian bahu Windy sudah terpisah dari tubuhnya. Raung sirine ambulans terdengar di bawah, sementara paramedis membopong Windy yang sudah tak sadarkan diri. Darah berceceran di koridor. Mengerikan sekali.

Aku takt ahu berapa lama aku terduduk di koridor, syok mengingat apa yang baru saja kulihat. Paramedis dan satpam berlalu-lalang di sekitarku. Tiba-tiba kudengar suara statis dari walkie talkie. Aku menoleh ke arah bunyi itu, dan kulihat seorang satpam yang sedang mendengarkan. Ia mendengar sejenak, lalu langsung berlari ke bawah. Samar-samar kudengar apa yang ia dengarkan.

Ada insiden serupa di kampus.

Aku kembali masuk ke kamarku di tengah kebisingan di luar. Aku duduk. Tanganku gemetar. Mencoba memikirkan ulang semuanya. Tunas di kepala Natalie. Gigitannya. Aku menggigil dan menggenggam tanganku. Kurasakan ada sesuatu. Lalu kutatap tanganku. Ada semacam debu hitam yang menempel. Aku melompat-lompat, berusaha menghilangkan debu itu dari tubuhku.

Ada sinar di pojok mataku. Laptop Natalie. Kameranya masih menyala. Selama ini, laptopnya masih menyiarkan live streaming di channel YouTubenya. Semua orang yang menontonnya bisa melihatku. Aku berjalan ke arah laptop Natalie lalu menutupnya kencang.!

Entah berapa lama lagi waktuku yang tersisa.

Aku mengambil apapun yang kuperlukan. Dompet. SIM. Uang. Catatan kuliahku. Kumasukkan semuanya ke dalam ranselku. Tak sampai lima menit, aku sudah keluar dari ruanganku.

Aku berlari turun tangga. Bersamaan dengan itu, beberapa orang berseragam loreng menaiki tangga yang sama. Beberapa memakai sarung tangan plastik dan memegang kantong plastik besar. Semuanya memakai masker gas. Aku turun dua lantai ke lantai dasar dan bergegas keluar rumah kost.

Pengeras suara di jalanan kampus berbunyi. Rektor mengumumkan bahwa kampus di- lockdown sampai waktu yang belum ditentukan. Semua mahasiswa diperintahkan untuk diam di kamar masing-masing. Aku tak peduli. Aku berjalan ke parkiran tempat motorku berada.

Kondisi kampus kacau.

Ambulans dan mobil polisi terparkir di tengah jalan. Orang-orang dengan seragam pelindung diri mengawal para mahasiswa keluar dari asrama-asrama. Beberapa mahasiswa harus menggunakan kursi roda. Wajah mereka pucat pasi. Kulihat seorang murid yang ditandu. Kepalanya menoleh ke arah samping. Di atas rambut kribonya tumbuh sebuah benjolan hitam. Aku mundur melihatnya.

Tak ada yang memperhatikanku saat aku mendekati dan membuka kunci motorku. Aku menuntun motorku ke arah pintu keluar kampus.

"Hei, kau tak boleh pergi"

Aku menengadah. Seorang berbaju loreng menghalangi motorku.

"Saya harus pergi, Pak," gumamku. "Harus"

Ia tidak merespon. Ia mengangkat tangannya, seakan memanggil bantuan tentara yang lain.

"Mending Bapak juga pergi. Sekarang"

Ia berhenti melambaikan tangan dan menatapku.

"Hah?"

"Setengah mahasiswa sakit," ujarku. Suaraku bergetar. "Bapak harus pergi. Sekarang."

Dia menatapku dalam. Ada yang terbersit di wajahnya. Kebimbangan. Ketakutan.

Ia tahu.

Ia tahu persis apa yang kubicarakan.

DOR! DOR! DOR!

Bunyi letupan senjata diikuti oleh jeritan bersahut-sahutan. Aku menoleh ke belakang. Si kribo mengigit seorang paramedis. Para tentara menembakinya, namun ia tidak nampak terpengaruh.

Tentara di depanku kebingungan harus bertindak apa.

"Pergi!", seru tentara di depanku sambil menoleh ke samping, ke arah pintu keluar.

Aku tancap gas. Aku melihat dari spion ia menenteng senjatanya, mengarahkannya ke mahasiswa-mahasiswa gila yang makin banyak jumlahnya. Sialan. Mereka keluar dari kamar- kamar asrama, melompat tiga lantai menimpa para petugas yang panik. Bunyi letupan senjata bersahut-sahutan, diselingi suara jeritan dan teriakan orang-orang yang menjadi korban gigitan.

Aku mengemudi dua jam ke arah Indramayu. Kunyalakan radio di HP-ku sambil mendengarkan lewat earphone, menanti apakah ada berita datang tentang kegilaan di kampusku.

Tak ada apa-apa. Nihil. Tak ada pemberitaan mengenai wabah atau insiden yang memakan korban di kampus. Di perjalanan aku mampir di warteg, menelan makanan secepat mungkin sembari membolak-balik catatan kuliahku.

Tunas itu. Aku pernah melihatnya. Di kuliah Profesor Andi.

"Jamur Ophiocordyceps memasuki tubuh semut, namun membiarkan otaknya tetap utuh. Neuron pada tubuh semut mulai mati dan digantikan oleh sel jamur. Pada intinya jamur mengambil alih tubuh semut. Sebagai ganti neuron, jamur itu menghasilkan zat kimia yang mengatur jalannya otot si semut.

Perlu diperhatikan bahwa otak semut tidak terpengaruh oleh jamur itu. Diduga bahwa si semut masih sadar dan hanya dapat melihat saat jamur mengatur anggota geraknya…"

Aku berhenti membaca.

Kuingat tatapan Natalie.

Bagaimana ia melihatku saat ia menerjangku tadi.

Aku segera meninggalkan warteg dan pergi ke belakang.

Aku muntah.

Kulempar tasku beserta seluruh isinya ke jurang di belakang warteg.

Itu kejadian sebulan lalu.

Aku meninggalkan motorku di pelabuhan Indramayu dan menaiki kapal yang menuju Belitung. Apapun yang terjadi di sana, aku aman di pulau ini, demikian pikirku.

Di televisi hanya ada berita pendek soal insiden keracunan makanan di kampusku. Sialan. Mereka tidak memberitahu yang sebenarnya. Inilah saat aku melihatnya. Kementerian Kesehatan menarik semua mie Panchongdong dari pasaran.

Aku punya banyak sekali pertanyaan. Apakah ini menular? Atau hanya disebabkan mie terkutuk itu? Apakah ini virus? Parasit? Bagaimana jika itu masuk ke rantai makanan? Di mana tempat yang aman? Dan kenapa tentara terlibat dalam hal ini?

Aman, aman, demikian batinku. Pemerintah telah menangani ini dengan baik.

Namun kemarin aku melihat sesuatu yang membuatku menuliskan ini.

Sejak aku tiba di Belitung aku menumpang tinggal di rumah seorang saudara jauh di sebuah kota kecil. Ia memintaku menjaga tempat dia bekerja—sebuah wartel kecil di pelabuhan.

Kemarin hanya ada aku di kantor. Jam menunjukkan pukul dua pagi.

Tiba-tiba mesin faks menyala dan mulai mencetak.

"Sialan," batinku. "Orang aneh apa yang mengirim faks jam segini?"

Baris demi baris, pesannya mulai masuk.

KEPADA PELABUHAN BELITUNG

STOP

KRI TELUK CIREBON MENUJU BELITUNG

STOP

KAPAL BERANGKAT DARI JAKARTA

KAPAL AKAN TIBA JAM 0900

STOP

KRU 80 PELAUT 45 SAKIT

STOP

MOHON DIRAWAT

FULL STOP

Apapun yang akan terjadi, terjadilah.